iklan gratis disini

Iklan Gratis Di Sini

Kilas Sinema Aceh 2009

DESEMBER ini tepat lima tahun usia tsunami yang turut menghanyutkan satu-satunya bioskop yang masih aktif hingga akhir 2004 di Aceh. Bioskop Garuda yang telah lama tutup sebelum tsunami telah bertransformasi menjadi gedung ICT Samsung. Bioskop Jelita yang sering memutar film yang tujuh belas tahun ke atas di Beurawe juga sudah tutup karena gedung itu sedang direnovasi. Dan, Bioskop Gajah Theater juga telah menjadi gudang perbekalan tentara.

Bioskop, sebagai salah satu tempat hiburan bagi warga Aceh, telah hilang dihanyutkan gempa bumi dan amuk gelombang raya. Saya ingat, bagaimana di tahun 2000-an tersebut, seiring meningkatnya produk film tanah air seperti film Eiffel I am in Love, Ada Apa dengan Cinta, dsb telah membuat bioskop Garuda dipenuhi oleh penonton yang rata-rata berusia remaja. Bioskop menjadi salah satu alternatif buat warga Aceh yang haus akan hiburan selain pantai dan konser musik.

Tapi apa dinyana, walaupun gedung bioskop itu masih utuh dan tegak berdiri, tapi hingga hari ini bioskop itu tidak aktif lagi. Warga mencari alternatif lain untuk mendapatkan hiburan berupa pemutaran film yang dibarengi dengan kemampuan membaca pasar oleh para event organizer. Film dapat diputar di lapangan dengan hanya bermodalkan projector dan layar, pemutaran film di ruangan publik seperti di warung-warung kopi, Taman Budaya Aceh, Gedung Chik Di Tiro, Gedung AAC Dayan Dawood, Gedung ACC Sultan Selim II, dan juga pemutaran film di beberapa kantor lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun international seperti di Episentrum Ulee Kareng dan Europe House Uni Eropa, menjadi alternatif bagi masyarakat Aceh.

Kita tentu ingat bagaimana animo masyarakat Aceh yang besar saat fim Ketika Cinta Bertasbih I dan II diputar di Aceh baru-baru ini. Masyarakat rela menonton hingga larut malam, bahkan menunggu film diputar karena listrik di gedung mati, dan juga risiko pulang malam, karena dalam salah satu jam tayangnya, Ketika Cinta Bertasbih I pernah diputar hingga lewat tengah malam di Gedung Chik Di Tiro. Bahkan, dalam salah satu artikel di surat kabar, ada warga Aceh yang rela untuk pergi ke Medan hanya untuk menonton film KCB I di awal-awal masa pemutarannya di bioskop tanah air. Hal ini juga yang membuat organizer menyelenggaran premiere KCB II di Aceh yang serentak dengan daerah-daerah lain di tanah air.

Tentu saja hal ini juga tampak dari semakin menjamurnya film yang berformat cakram padat yang diproduksi lokal dan juga diperankan oleh artis lokal Aceh. Bahkan ada film lokal yang telah mampu bertahan hingga serial yang ketujuh hingga saat ini. Tidak ada bioskop disiasati dengan langsung memproduksi film dalam bentuk cakram padat.

Tahun ini di Aceh juga dipenuhi dengan beberapa seri pemutaran film dokumenter atau film festival. Sayembara dan pemutaran film Aceh Short Festival yang diselenggarakan oleh Freevoice, Europe On Screen yang digelar di Europe House (Uni Eropa), pemutaran film At Stake-Pertaruhan yang diproduseri Nia Dinata, dan ScreenDocs! Regular yang diselenggarakan oleh Episentrum Ulee Kareng adalah salah satu acara yang digelar tahun ini di Aceh.

Festival Europe on Screen di Aceh tahun ini terjadi tepat ketika masa-masa insiden penembakan guest house Uni Eropa oleh orang tak dikenal. Awalnya saya mengira penyelenggara telah terlebih dahulu menonton film yang akan diputar. Untuk memastikan apakah unsur-unsur yang dimuat dan ditayangkan dalam film tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat Aceh. Tapi saya rasa panitia abai. Mungkin karena film itu telah lulus sensor di Lembaga Sensor Film. Panitia tidak mengetahui kalau dalam salah satu adegan dalam film tersebut menayangkan cuplikan perempuan telanjang yang sedang mandi di sungai! Dan para penonton melihat hal tersebut.

Saya pada dasarnya berasumsi bahwa nafsu atau sesuatu yang berhubungan dengan pornografi tergantung pada pola pikir pribadi masing-masing. Ada orang yang langsung bangkit nafsunya hanya dengan mendegar lenguhan wanita, dan hal lain yang sifatnya situasional. Saya tidak mengecam bahwa penyelenggara telah memutar film porno di hadapan publik di Aceh, karena –mungkin dan bisa saja- penonton tidak bangkit nafsunya melihat gambar orang yang sedang mandi telanjang di sungai di film itu. Tapi saya lebih ingin penyelenggara sedikit mempercepat film itu ketika muncul adegan tersebut. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati ?

Di pertengahan November 2009 juga, sutradara terkenal di Malaysia, Mansour bin Puteh datang ke Aceh untuk melakukan studi lapangan untuk rencana pembuatan film yang akan dia garap beberapa waktu ke depan. Mansour juga sempat membuat diskusi dengan tema “Masa Depan Sinema Islam” di Radio Antero dan juga di kampus Universitas Syiah Kuala yang dikelola oleh Teater Nol dan Dokarim. Sinema Islam menjadi pembahasan yang menarik manakala jika kita melihat dari banyaknya film yag beredar di Aceh, baik lokal, nasional, atau internasional, film yang bernafaskan keagamaan atau seruan pada Islam, sangat minim. Padahal kita mengklaim sebagai provinsi syariat!

Lagi-lagi, mungkin akhirnya kita hanya bisa mengenang semangat P. Ramlee –aktor dan sutradara film Malaysia yang berdarah Aceh yang lebih populer di Pulau Pinang Malaysia daripada tanah Aceh sendiri![]

Oleh Rizki Alfi Syahril, pengelola Episentrum Ulee Kareng. <@>